Gesang, Maestro yang Bersahaja
Liputan 6
Liputan 6 - Jumat, 21 Mei
Liputan6.com, Jakarta: Tak banyak penyanyi atau pemusik Indonesia yang bisa melegenda di masyarakat. Satu dari yang sedikit itu adalah Gesang Martohartono. Lagu Bengawan Solo diciptakan pada 1940, saat ia berusia 23 tahun. Pada saat itu, ia tengah duduk di tepi Bengawan Solo.
Musisi senior kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 1 Oktober 1917, tersebut selalu kagum dengan sungai itu sehingga terinspirasi untuk menciptakan sebuah lagu. Proses kreatif lagu ini memakan waktu sekitar enam bulan.
Tidak hanya di Tanah Air, Bengawan Solo juga memiliki popularitas di luar negeri, terutama di Jepang. Bahkan lagu ini sempat dipakai dalam salah satu film layar lebar di Negeri Sakura.
Gesang pertama kali menciptakan lagu pada 1938 berjudul Keroncong Piatu. Sementara lagu Bengawan Solo yang diciptakan pada 1940 adalah karyanya yang ketiga.
Namun tidak selamanya popularitas yang diraih Gesang menjamin tingkat kesejahteraan hidup. Kondisi ekonomi Gesang tak beranjak baik. Bahkan rumah hadiah tipe 21 di Perumahan Nasional Palur, Surakarta, Jateng, yang pernah dihuni bersama sang istri tetap dengan bentuk aslinya.
Meski demikian, sebagai seniman yang tak terlalu pusing memikirkan soal kemapanan, dia tidak pernah mengeluh, apalagi kecewa. Malah sebaliknya, Gesang bangga lantaran lagu hasil karyanya laris manis dan terus diproduksi. Dia juga tak pernah berpikir untuk menerima royalti dari setiap karyanya.
Setelah sang istri meninggal dunia dua tahun silam. Rumah tipe 36 di Perumnas Palur, Karanganyar, Surakarta, yang masih ditempati hingga tiga tahun silam, kini ditinggalkan. Gesang memilih pindah ke Kampung Kemplayan, rumah saudara kelimanya, Toyibi. Sedangkan rumah hadiah almarhum Soepardjo Roestam saat menjabat gubernur Jawa Tengah, dibiarkan ditempati keponakannya.
Sikap lugu Gesang yang tak memikirkan royalti, mengundang simpati PT Penerbit Karya Musik Pertiwi (PT PMP). Sejak 1996, perusahaan itu berjuang mengumpulkan keuntungan dari karya Gesang di seluruh dunia yang mencapai puluhan juta rupiah setiap tahun. Di usia senja, Gesang pun sempat menikmati hasil jerih payahnya secara materiil.
Saat ini, lagu-lagu yang diciptakan Gesang diakui sebagai aset nasional. Agar karya Gesang tetap abadi maka PT PMP menerbitkan buku berisi 44 partitur serta syair-syair lagu [baca: Gesang Mulai Memetik Royalti].
Semasa hidupnya, Gesang menikmati hari tua dengan bercengkerama bersama sejumlah burung kacer merah kesayangannya. Sesekali ia masih berusaha berjalan di sekitar rumah, menikmati alam pedesaan. Walaupun harus dilakukan dengan susah payah dan tertatih-tatih.
Kini, sang maestro keroncong itu telah pergi. Setelah dirawat selama sembilan hari, Gesang Martohartono mengembuskan napas terakhir dalam usia hampir 93 tahun di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Solo, Jawa Tengah, Kamis (20/5). Sang maestro wafat pada pukul 18.10 WIB setelah kondisinya kembali menurun drastis sejak pukul 12.00 WIB tadi [baca: Gesang Wafat].(IDS/BOG/ANS)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar