Judul: Konspirasi Soeharto – CIA: Penggulingan Soekarno 1965-1967
Penulis: Prof. Peter Dale Scott (ringkasan by M. Adnan Anwar)
Penerbit: PMII Unair & PeKad (Perkumpulan Kebangsaan Anti Diskriminasi)
Cetakan: 1998
Tebal: 59 halaman
Paper singkat Peter Dale Scott, Profesor dari Universitas California, Barkeley ini membahas bagaimana keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam upaya penggulingan Soekarno (Bung Karno) secara kotor dan berdarah. Tulisan ini begitu penting karena sejarah seputar peristiwa “Gerakan 30 September” (Gestapu) banyak yang disembunyikan, dihilangkan dan diputarbalikkan oleh rezim Orde Baru. Pembantaian terhadap sekutu-sekutu Bung Karno (BK) yang beraliran kiri merupakan hasil konspirasi CIA-Soeharto dibantu intelijen Inggris, Jepang dan Jerman.
Namun, Soeharto dan klannya berdalih, Gestapu adalah penyerangan golongan kiri (menuduh PKI) ke kanan (Jenderal Ahmad Yani cs), yang membawa restorasi kekuasaan dan kemudian pembersihan golongan kiri sebagai hukuman oleh golongan tengah (Soeharto mengklaim posisinya di sini). Padahal, menurut Scott dengan pura-pura melakukan Gestapu, golongan kanan (Soeharto cs) dalam Angkatan Darat (AD) Indonesia melenyapkan golongan tengah (Yani cs yang walaupun kritis tapi tetap loyal ke BK). Dengan kata lain, Gestapu hanyalah merupakan tahap pertama dari tiga tahap yang dibantu secara rahasia oleh juru bicara dan pejabat AS; yakni tahap 1: Gestapu “coup” sayap kiri gadungan (Letkol Untung cs). Kedua, KAF Gestapu; yakni tindakan balasan dengan membunuh PKI secara massal, dan 3: pengikisan pendukung BK secara massif dan progresif.
Ringkasan ini akan saya buat dalam tiga kerangka besar, yakni alasan/motivasi CIA menjatuhkan BK, bagaimana cara CIA dalam mewujudkan keinginan tersebut dan bukti-buktinya. Satu alasan terkuat BK harus disingkirkan oleh CIA karena BK bersahabat dekat dengan blok Cina dan Sovyet. Sejak 1953, AS berkepentingan untuk membantu mencetuskan krisis di Indonesia, yang diakui sebagai “penyebab langsung” yang merangsang BK mengakhiri sistem parlementer Indonesia dan menyatakan berlakunya keadaan darurat militer, serta memasukkan “korp perwira” secara resmi dalam kehidupan politik (14 Maret 1957); sebuah blunder politik BK.
Sedangkan langkah-langkah yang dilakukan CIA untuk mewujudkan ambisinya tersebut yakni dengan menggandeng faksi militer kanan –seperti Soeharto, Walandouw, Suwarto, Sarwo Edhie, Kemal Idris, Ibnu Sutowo, Basuki Rahmat, Djuhartono, dll- dan partai berhaluan kanan (Masyumi dan PSI) untuk semakin mengecilkan pengaruh BK. Skenario CIA tersebut saya bagi dalam enam point. Pertama, CIA mendukung terjadinya pemberontakan/perlawanan terhadap BK. Seperti bantuan senjata dan personil oleh CIA dengan mendukung pemberontakan PRRI/Permesta (Kol. Walandouw) di Sumatera Barat untuk melawan BK –tetapi dapat ditumpas (1957-1958). Kemudian peristiwa Lubis (1956) dengan tokohnya Suwarto dan Kemal Idris serta PSI.
Kedua, Program Civic Mission. Setelah dirasa gagal dengan serangkaian perlawanan,1 Agustus 1958 AS memberikan bantuan militer ke Indonesia mencapai $ 20 juta setahun. Kontrol (baca: mengendalikan) terhadap AD ini dianggap penting, karena AS menganggap hanya AD yang mampu mengimbangi kekuatan PKI.
Lalu didirikanlah SESKOAD tahun 1958 di Bandung yang mendapatkan dukungan penuh dari Pentagon, RAND dan Ford Foundation. Jenderal Suwarto yang pernah dididik di AS yang bisa memainkan peran penting dalam mengubah AD dari fungsi revolusioner menjadi kontra revolusi ditunjuk sebagai penanggung jawab sekolah tersebut. Di bawah Nasution dan Suwarto, SESKOAD mengembangkan suatu doktrin strategis baru yakni doktrin Perang Wilayah, yang memberi prioritas kepada kontra pemberontakan sebagai peranan AD. Soeharto masuk SESKOAD dengan pangkat Kolonel (Oktober 1959) dan menjadi siswa yang sangat “berbakat”. Terbukti, dia dilibatkan dalam penyusunan doktrin perang wilayah serta dalam kebijaksanaan AD mengenai Civic Mission/Civic Action.
Di SESKOAD, perwira AD -dan sipil yang pro PSI- juga diajari bidang ekonomi dan administrasi kepemerintahan sehingga AD mulai bisa bekerjasama dan bahkan berani menandatangani kontrak-kontrak dengan perusahaan AS serta negara asing lainnya di luar kesepakatan rezim BK.
Pada tahun 1962, Kemlu AS dibantu CIA mendirikan MILTAC (Military Training Advisory Group=Kelompok Penasehat Latihan Militer) di Jakarta untuk memberikan bantuan dalam melaksanakan program Civic Mission SESKOAD. Program ini sebenarnya merupakan penyusupan perwira AD ke dalam semua bidang kegiatan pemerintah dan tugas-tugas kepemerintahan. Terbukti, huru-hara anti Cina diilhami AD terjadi di Jawa Barat tahun 1959 dengan Kolonel Kosasih yang membiayai komplotan bajingan-bajingan setempat dengan tujuan merusak hubungan Indonesia dengan Cina. Kemudian disusul huru-hara mahasiswa bulan Mei 1963 dan diulangi Januari 1966 di Bandung dan Oktober 1965 di Jakarta.
Ketiga, adanya konflik internal di tubuh AD. Menurut Harold Crouch, menjelang 1965 AD pecah menjadi dua; kelompok tengah yakni Yani cs yang bersikap menentang BK tentang persatuan nasional karena PKI masuk di dalamnya. Kubu kedua, AD kelompok kanan yakni Nasution dan Soeharto (Basuki Rahmat, Sudirman dari SESKOAD dkk) yang bersikap menentang kebijaksanaan Yani yang bernafaskan Soekarnoisme (karena tidak setuju merebut kekuasaan BK).
Adanya konflik para Pati AD tersebut terindikasi dengan: Pertama, Januari 1965, Soeharto mengadakan rapat penyatuan sikap kelompok AD dengan mendesak Nasution supaya mengambil sikap yang lebih menyesuaikan diri terhadap BK. Kedua, April 1965 diadakan seminar di SESKOAD untuk mengusahakan satu doktrin strategis yang bersifat kompromis yaitu Tri Ubaya Sakti yang menegaskan kembali tuntutan untuk memiliki peranan politik yang berdikari bebas.
Keempat, Program AS berkedok bantuan. Proses menjatuhkan BK juga bisa dipahami dari bantuan AS ke Indonesia di tahun 1963-1965, melalui saluran “komisi-komisi penjualan” atau sumbangan finansial untuk mendukung kepentingan politik Soeharto. Misalnya bantuan lunak AS tetap ada yang ditujukan ke AD dan Brimob-Polisi untuk adu-kekuatan dengan PKI yang sedang jayanya. Juga bantuan 200 pesawat Aero-Commanders kepada AD -bukan AU (Juli 1965), dimana komisi keagenan penjualan tersebut dipegang Bob Hasan, sahabat Soeharto. Keduanya sudah berkawan sejak Soeharto sebagai Pangdam Diponegoro. Secara khusus keduanya juga telah mendirikan dua buah perusahaan pelayaran yang harus dioperasikan Divisi Diponegoro. Menjadi unik ketika bantuan beralih dari bantuan AS terhadap Indonesia (sebagai Negara) berubah menjadi bantuan untuk membiayai salah satu komponen negara yang tidak loyal pada bangsanya sendiri.
Namun saat Lyndon Johnson jadi presiden AS, tepatnya Desember 1964, bantuan AS tersebut dihentikan. Hal ini mengindikasikan AS turut sengaja ambil bagian aktif untuk menggoyahkan ekonomi Indonesia dalam minggu-minggu menjelang Gestapu, ketika harga beras naik 4x dan harga dollar membumbung tinggi.
Pada tahun fiskal 1965, New York Times menyatakan “semua bantuan AS kepada Indonesia telah dihentikan, maka jumlah personil MAP (Military Assistance Program) di Jakarta dalam kenyataannya justru telah meningkat mencapai taraf yang jauh melebihi daripada yang telah diproyeksikan”.
tabelTabel di atas menunjukkan bahwa program Civic Action ditingkatkan.
Kelima, terjadinya peristiwa 1965 dan peranan Soeharto. Menjelang Agustus 1964, Soeharto mulai mengadakan kontak politik dengan Malaysia, Jepang, Inggris dan AS. Menurut Mrazek, kontak Soeharto itu merupakan penjajagan untuk berdamai dengan menarik pasukan AD Indonesia yg terbaik (yang anti komunis) ke Jawa dengan sebelumnya mengirim satu batalyon Diponegoro (yang telah disusupi PKI) ke Malaysia yang bisa dipahami sebagai persiapan-persiapan untuk merebut kekuasaan pemerintahan.
30 September, 6 jenderal (Yani, Suprapto, Sutoyo, S. Parman, MT. Haryono, DI Panjaitan), 1 pamen (Tendean), 1 pama (KS Tubun) tewas oleh gerakan Letkol Untung cs. Uniknya, tak seorangpun jenderal anti BK yang menjadi sasaran Gestapu, kecuali Nasution yang bersifat problematik; yakni menjelang 1961, CIA kecewa karena Nasution yang diproyeksikan menyingkirkan BK justru berbalik mendukung BK, dan dia mengkritik keterlibatan USA dalam Perang Vietnam. Sikap Soeharto dengan Nasution juga dingin karena kasus pemeriksaan Nasution terhadap korupsinya Soeharto pada tahun 1959 saat menjadi Pangdam Diponegoro. “Menjadi semakin aneh” ketika Soeharto yang saat itu pegang komando pasukan terbesar (Pangkostrad) justru “tidak masuk” dalam daftar penculikan.
Pernyataan Untung atas nama Gestapu yang melindungi BK dari “Dewan Jenderal” yang didukung CIA yang akan merencanakan coup sebelum 5 Oktober 1965 dengan disiagakan pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Padahal, pasukan tersebut diundang ke Jakarta dalam rangka memperingati Hari ABRI, 5 Oktober 1965. Menjadi aneh ketika Soeharto kemudian membuat pernyataan susulan untuk menumpas Gestapu dengan menyatakan loyalitas AD tetap ke BK dan menuduh PKI ditambah unsur AURI yang membunuh 6 jenderal hanya karena lokasi sumur Lubang Buaya dekat dengan Pangkalan Halim. Keberadaan BK, Oemar Dhani (KSAU) dan DN Aidhit (Ketua PKI) yang diskenariokan sedemikian rupa (mereka di Halim) menjadi senjata yang ampuh untuk mendelegitimasi image BK agar menimbulkan kesan negatif adanya persekongkolan BK-AURI dan PKI. Peranan Soeharto begitu penting dalam skenario ini. Berlagak sebagai pembela status quo tapi pada kenyataannya justru bergerak sendiri secara berencana untuk merebut kekuasaan. Sebuah skenario yang kemudian ditiru oleh Jenderal Pinochet di Chili (1970-1973) dan juga di Kamboja (1970).
Menarik karena baik pelaku Gestapu (Untung Cs) ataupun yang menumpasnya adalah sama-sama dari Divisi Diponegoro (Yon 454), tempat di mana Soeharto dulu menjadi Pangdamnya. Semakin menarik karena fakta banyak pemimpin Gestapu adalah lulusan pendidikan AS. Jadi ada kelanjutan/kontinuitas antara hasil yang dicapai Gestapu (membunuh Yani cs), kemudian diteruskan oleh Soeharto atas nama penumpasan Gestapu, kemudian menyingkirkan pendukung BK yang tersisa.
Pembunuhan besar-besaran secara sistematis kemudian menyebar dan justru paling dahsyat terjadi ketika Danjen RPKAD, Kol. Sarwo Edhie bergerak dari Jakarta ke Jateng dan Jatim kemudian balik lagi ke Jakarta. Orang sipil yang terlibat dalam pembantaian massal telah dilatih di daerah setempat oleh AD atau dikerahkan dari kelompok (SOKSI dan organisasi mahasiswa Gemsos yang disponsori oleh AD dan CIA), yang selama bertahun-tahun telah bekerjasama dengan AD mengenai masalah-masalah politik; apa yang disebut sebagai Civic Action.
Keenam, dukungan AS terhadap faksi Soeharto. Bukti-bukti keterlibatan orang-orang Soeharto berkolaborasi dengan CIA, misalnya: Pertama, beberapa bulan sebelum Gestapu, seorang utusan Soeharto, Kolonel Walandouw (pelaku pemberontakan PRRI) yang memiliki hubungan lama dengan CIA telah menghubungi pemerintah AS.
Pada bulan Mei 1965, komisi-komisi Lockheed (CIA) di Indonesia telah dialihkan kepada kontrak baru dan perusahaan yang didirikan oleh agennya di Indonesia atau perantara Lockheed yang telah lama dibina. Pengalihan ini karena pertimbangan politis. Di samping Walandouw juga ada Dasaad dan Jenderal Alamsyah; jenderal yang menyokong Soeharto di era awal rezimnya karena Alamsyah menguasai dana-dana besar khusus. Lockhedd-Dasaad-Alamsyah bergandeng dengan gerbong Soeharto yang baru lulus dari SESKOAD. Setidaknya ini juga direkomendasikan Kedutaan AS di tahun 1966.
Ketiga pada April 1965, perusahaan Amerika, Freeport Shulpur telah mencapai suatu kesepakatan pendahuluan dengan para pejabat Indonesia, yang nantinya akan menjadi suatu investasi sebesar $500 juta di bidang tembaga di Papua Barat. September 1965 dalam waktu singkat, setelah minyak dunia melaporkan bahwa industri gas dan minyak Indonesia semakin merosot tajam yang dapat menjurus ke krisis politik, maka presiden ASAMERA dalam suatu usaha patungan dengan Pertaminanya Jenderal Ibnu Sutowo telah membeli saham-saham dalam perusahaan yang pura-pura terancam bangkrut itu seharga hanya $ 50 ribu saja. Ironisnya, pembayaran pada 9 dan 21 September 1965 dilaporkan dalam Wall Street Journal tanggal 9 dan 30 September, yaitu hari terjadinya Gestapu. Hal yang sangat “ajaib”, ketika Negara dalamkondisi gawat. Tapi ada proses deal bisnis antara AD (Pertamina) dengan AS.
Bukti-bukti keterlibatan CIA. Bukti-bukti keterlibatan CIA dalam penggulingan BK, diantaranya: Pertama, kurang dari setahun setelah Gestapu dan pertumpahan darah, dengan riang-gembira James Reston menulis tragedi kemanusiaan besar tersebut dengan tema “Suatu Percikan Sinar di Asia“: “Washington bersikap hati-hati untuk tidak menyatakan suatu pujian terhadap adanya perubahan yang…… di dalam negeri yang berpenduduk terbanyak ke-6 di dunia, serta salah satu negara terkaya di dunia, akan tetapi tidaklah berarti bahwa Washington sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun dengan peristiwa tersebut“.
Kedua, adanya kontak-kontak kekuatan anti komunis Indonesia dengan seorang pejabat Washington yang berkedudukan sangat tinggi sebelum dan selama masa pembantaian massal. Ketiga, adanya kesaksian dari bekas pejabat CIA, Ralph McGehee yang dibenarkan oleh sensor selektif bekas-bekas majikannya dalam CIA.
Strategi yang diciptakan CIA untuk menggoyang sebuah rezim, dengan menciptakan situasi yang sebenarnya dan mencampurinya kemudian menyebarluaskan distorsi skenario ke seluruh dunia melalui propaganda media massanya yang kuat. Tipu muslihat CIA merupakan suatu rencana klasik yang bersifat menggoyahkan situasi, yaitu berusaaha meyakinkan baik pihak kanan ataupun kiri agar tidak bisa berharap mendapatkan perlindungan dari status quo dan berusaha merangsang keduanya untuk melakukan provokasi yang kian massif terhadap pihak lawan.
Gaya tipu dan polarisasi ini dilakukan dengan melempar desas-desus. Hal ini dikuatkan oleh seorang pengamat politik, Saundhaussen. Desas-desus itu diantaranya, dua minggu sebelum Gestapu (14 September 1965); pihak AD diperingatkan bahwa ada suatu komplotan yang akan membunuh pemimpin-pemimpin tentara dalam empat hari mendatang. Laporan kedua seperti itu telah dibahas di markas besar AD 30 September 1965. Setahun sebelumnya, muncul juga dokumen yang menuduh PKI sedang merencanakan suatu penyusupan ke AD untuk menggulingkan “kaum Nasutionis” (diberitakan sebuah harian Malaysia dari Khoirul Saleh, pro-AS). Juga desas-desus selama 1965 bahwa Cina daratan sedang menyelundupkan senjata-senjata untuk PKI sebelum Gestapu (diberitakan oleh sebuah harian Malaysia, mengutip dari sumber Bangkok, yang berdasar dari Hongkong).
Propaganda, tipu-muslihat CIA yang melibatkan media massa multinasional ini menjadi ciri khas “Wurlizzer Perkasa“; yaitu jaringan pokok pers dengan jaringan dunia, yang melalui jaringan pers CIA atau lembaga rekanan seperti M16 yang sangat sulit ditelusuri sumbernya. CIA sangat pintar masuk ke isu, kemudian seolah-olah itu anti AS, padahal baik sisi kiri ataupun kanan sedang masuk dalam perangkap CIA.
Keberhasilan kasus Jakarta sangat menginspirasi CIA untuk kemudian menjatuhkan rezim-rezim yang “tidak direstui” Washington, seperti rezim di Laos (1959/1961), rezim Sihanouk di Kamboja pada tahun 1970, dan penggulingan Allende di Chili pada tahun 1973 dengan sandi “Jakarta se acerca” (Jakarta sedang mendekat).
Di Chili, karena pihak militer masih enggan untuk melawan Allende, CIA membuat sebuah dokumen palsu yang membongkar suatu rencana komplotan kiri untuk membunuh para pemimpin militer Chili. Berita tersebut kemudian disebarluaskan oleh media massa aliansi CIA yang membuat militer Chili terpancing, terprovokasi dan terjebak skenario CIA. Tak lama kemudian Presiden Allende digulingkan dan dibunuh oleh kaum militer.
***
Tidak terasa, selama 10 tahun otak saya dijejali dengan sejarah-sejarah palsu rekayasa Orde Baru dalam film “G 30 S/PKI” karya Arifin C. Noer. 4 tahun di SD, 3 tahun di SMP dan 3 tahun di SMA, guru-guru sejarah kita dipaksa mengajarkan “aliran sesat” berupa sejarah kelam Gestapu di otak saya dan orang-orang muda seangkatan saya.
Kini, film yang dibuat tahun 1984 itu sejak Soeharto terjungkal (1998) sudah tidak lagi ditayangkan -begitu juga dengan film sejarah “Serangan Umum 1 Maret 1949”/”Serangan Fajar 6 Jam Yogya”/”Janur Kuning”. Ini menjadi bukti betapa kelirunya sejarah itu. Tapi aneh, yang direvisi hanya sejarah Janur Kuning di Yogya -itupun akibat tentangan dari pihak Keraton Yogyakarta, sedangkan sejarah Gestapu hingga kini -11 tahun reformasi-masih tetap gelap; pertanda bangsa ini memang akan terus berada dalam kegelapan. Para elite pemimpin kita (baik di birokrasi, militer, aparat) dari era reformasi hingga kini sudah bermental sekarat, sehingga menelusuri sejarah; mengatakan sejarah yang benar saja begitu berat.
Ambisi Soeharto untuk bisa naik tahta menjadi Raja ke-2 Indonesia penuh dengan lumuran darah (setengah) jutaan masyarakat yang tidak berdosa dan derita anak-cucu mereka akibat fitnah. Penggulingan Soekarno dibayar tuntas oleh rezim dan klan Soeharto dengan menyerahkan Papua Barat untuk dieksploitasi sepenuhnya oleh Freeport; usaha yang dulu sangat ditentang oleh Bung Karno. Bagi Amerika, ini adalah sebagai bentuk “imbalan” karena Papua berhasil kembali ke pangkuan NKRI dari cengkeraman Belanda; sebuah rencana panjang AS yang konsisten, sabar dan terstruktur rapi sejak akhir era 40-an (via Konferensi Meja Bundar, 1949).
Jika mencari identitas diri bangsa saja begitu susah, jika menelusuri jejak rekam sejarah bangsa sendiri saja sulit, jika meluruskan kebenaran sejarah bangsa saja takut, bagaimana kita bisa menatap masa depan bangsa ini? Tentu, status quo (yang pro kepada kejahatan, kebiadaban, koruptor, penindasan, kedzaliman, penjual aset-aset bangsa) tetap menjadi pemenang dalam hal ini. Sungguh, Indonesia ini benar-benar sebuah bangsa yang aneh?!
(c) aGusJohn,
Lembah Ciangsana, 05 April 2009
http://ayunara.wordpress.com/2009/04/16/138-konspirasi-soeharto-cia-penggulingan-soekarno-1965-1967-res/#more-682
VIVAnews
By Renne R.A Kawilarang, Harriska Farida Adiati - Rabu, 30 Juni
VIVAnews - Sempat "tertahan" di Rusia selama 48 tahun, baru kali ini Sukirno Martosukarjo pulang ke tanah air. Sukirno merupakan satu dari sekian perantau yang menjadi korban kepentingan politik di masa lampau sehingga sulit pulang ke Indonesia.
Di usia yang sudah 73 tahun, Sukirno dipertemukan kembali dengan sejumlah kerabatnya, termasuk Sigit, jelang suatu acara diskusi di gedung Kementrian Luar Negeri Indonesia di Jakarta, Rabu 30 Juni 2010. Suasana haru tak terelakkan.
Bagi pemerintah Indonesia dan Rusia, reuni Sukirno dengan keluarganya merupakan kado manis bagi peringatan 60 tahun hubungan kedua negara.
Sukirno pun mengenang kembali masa-masa saat dia tertahan di Rusia, yang masih bernama Uni Soviet semasa dekade 1960-an. Pada 1962, Sukirno dengan bangga bertolak ke Rusia dalam program pertukaran yang didukung pemerintah kedua negara. Cita-cita Sukirno untuk belajar sebagai mahasiswa program studi kedokteran di Moskow pun tercapai.
Namun, pada 1965, terjadi pergolakan politik di Indonesia dan setahun kemudian Presiden Soekarno tidak lagi berkuasa. Di saat yang sama, para pelajar Indonesia di Rusia membentuk suatu organisasi mahasiswa progresif yang tidak setuju dengan kudeta.
Sukirno ikut berkecimpung dalam organisasi itu. Namun, keikutsertaan itu berakibat fatal. Bersama 12 anggota pimpinan organisasi tersebut, paspor Sukirno dicabut oleh pemerintah, yang saat itu sudah dipimpin oleh rezim Orde Baru. Dengan demikian, Sukirno dan teman-teman tidak lagi menjadi WNI, sehingga tidak bisa pulang ke tanah air.
Perang Dingin sudah lama berakhir. Dalam beberapa tahun terakhir, iklim politik di Indonesia maupun Rusia sudah berubah. Kebijakan pemerintah Indonesia pun sudah jauh berubah dan ini dirasakan oleh para korban politik masa lalu seperti Sukirno.
Dia mengungkapkan baru mengetahui dari Hamid Awaluddin - yang menjadi Duta Besar Indonesia untuk Rusia sejak 2008 - bahwa telah terjadi perubahaan hukum kewarganegaraan di negeri ini. Dengan demikian, Sukirno berhak mengklaim kembali paspor Indonesia yang sudah dicabut.
Namun, keleluasaan itu membuat Sukirno jengah. Pasalnya, Sukirno sudah menjadi warga negara Rusia sejak 1992 dan Indonesia pun belum bisa menyetujui WNI yang ingin memiliki kewarganegaraan ganda.
Sukirno dengan berat hati mempertahankan statusnya sebagai warga Rusia, karena situasi saat ini - terutama faktor usia - membuat dia sulit untuk kembali menjadi WNI. "Saya pilih tinggal di sana, di sini [Indonesia] saya tidak bisa bekerja," kata Sukirno, yang kini menjadi profesor di bidang kedokteran ini.
Namun, dia sangat senang bahwa hubungan Rusia dan Indonesia, yang sudah berjalan selama 60 tahun, kini semakin terbuka. "Indonesia-Rusia hubungannya sudah terbuka, saya bisa tanpa masalah kesana kemari," kata Sukirno.
Meski demikian, pria asal Yogyakarta ini juga mengutarakan penyesalannya karena ilmu tinggi yang dia peroleh di waktu muda tidak bisa dimanfaatkan bagi rakyat di negeri ini. "Saya sebenarnya belajar kedokteran untuk bekerja di tanah air," kata Sukirno.
Sementara itu, Hamid merasa gembira bisa mempertemukan Sukirno dengan kerabatnya. Menurut Hamid, hubungan kedua negara sudah bergerak maju.
"Momen yang paling penting, selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, hubungan kedua negara tidak putus, tapi sepi. Namun sejak Soviet berubah menjadi Rusia dan Indonesia mengalami reformasi, hubungan yang erat berjalan lagi," tutur Hamid.
"Yang membanggakan bagi saya adalah generasi baru Rusia, yang berusia 18-24 tahun, ada yang berminat belajar bahasa Indonesia. Mereka menari, menyanyi lagu Indonesia seperti Widuri atau Butet dalam bahasa Batak," kata mantan Menteri Hukum dan HAM itu.
Volume perdagangan Indonesia-Rusia tahun 2009 mencapai US$1,5 miliar. Angka ini, menurut Hamid, sangat sedikit dibanding volume perdagangan antara Indonesia dan negara lain. Namun, bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, angka ini cenderung tinggi. (umi)